RIWAYAT EMPAT IMAM MAZHAB
A. IMAM HANAFI
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan
sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir
di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah
Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena
kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta
menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi.
Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat
ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali
r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang
mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit
kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul
dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.
Pada masa remajanya, dengan segala
kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu
pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak
seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah,
begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih
banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
Imam Abu Hanifah mulai belajar dengan mendalami
ilmu-ilmu qiraat, ilmu bahasa Arab ilmu kalam dan lain-lain. Akan tetapi bidang
ilmu yang paling diminatinya ialah ilmu hadis dan fiqh. Beliau banyak
meluangkan masa dan tenaga untuk mendalaminya. Imam Abu Hanifah meneruskan pembelajarannya
dengan berguru kepada as-Sya’bi dan beberapa tokoh ilmuan lain di Kufah.
Menurut riwayat, jumlah gurunya di Kufah saja berjumlah 93 orang.
Beliau kemudian hijrah ke bandar Basrah di Iraq, untuk
berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah dan Shu’bah. Setelah sekian
lama berguru dengan Shu’bah yang pada ketika itu terkenal sebagai Amir
al-Mu’minin fi Hadith (pemimpin umat dalam bidang hadith), beliau diizinkan
gurunya untuk mulai mengajar hadith kepada orang ramai. Berkata Shu’bah:
“Sebagaimana aku ketahui dengan pasti akan kesinaran cahaya matahari, aku juga
ketahui dengan pasti bahawa ilmu dan Abu Hanifah adalah sepasangan bersama.”
Imam Abu Hanifah tidak puas hati hanya dengan pembelajarannya
di Kufah dan Basrah di Iraq. Beliau kemudian pergi ke Makkah dan Madinah untuk
menuntut ilmu lagi. Di sana beliau berguru kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah. Kemudian
Imam Abu Hanifah belajar lagi bersama Ikrimah, seorang tokoh besar agama di Makkah
yang juga merupakan anak murid ‘Abdullah
ibn ‘Abbas, ‘Ali bin Abi Thalib ra, Abu Hurairah ra dan ‘Abdullah ibn ‘Umar
radhiallahu ‘anhum. Kehandalan Imam Abu Hanifah dalam ilmu-ilmu hadith dan fiqh
diiktiraf oleh Ikrimah sehingga beliau kemudian membenarkan Imam Abu Hanifah
menjadi guru kepada penduduk Makkah.
Imam Abu Hanifah kemudian meneruskan pengajiannya di
Madinah bersama Baqir dan Ja’afar as-Shadiq. Kemudian beliau duduk bersebelahan
dengan Imam Malik bin Anas, tokoh besar kota Madinah ketika itu. Walaupun Imam
Abu Hanifah 13 tahun lebih tua daripada Imam Malik, ini tidak menghalangnya untuk
turut serta belajar. Ketika guru
kesayanganya Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120H/738M, Imam Abu
Hanifah telah diminta untuk mengganti kedudukan Hammad sebagai guru dan
sekaligus tokoh agama di Basrah. Melihat tidak ada yang akan meneruskan perjuangan Hammad, Imam
Abu Hanifah pun setuju kepada jabatan
tersebut.
Mulai di sinilah Imam Abu Hanifah mengajar dan menjadi
tokoh besar terbaru dunia Islam. Banyak
orang dari pelosok dunia Islam datang untuk belajar
bersamanya. Di samping mengajar, Imam Abu Hanifah juga seorang pedagang dan beliau amat bijak
dalam mengadili antara dua tanggung jawabnya ini sebagaimana diterangkan anak
muridnya al-Fudail ibn ‘Iyyadh: “Adalah Imam Abu Hanifah seorang ahli hukum,
terkenal dalam bidang fiqh, banyak kekayaan, suka mengeluarkan harta untuk siapa
yang memerlukannya, seorang yang sangat sabar dalam pembelajaran baik malam
atau siang hari, banyak beribadat pada malam hari, banyak berdiam diri, sedikit
berbicara terkecuali apabila datang kepadanya sesuatu masalah agama, amat
pandai menunjukan manusia kepada kebenaran dan tidak mau menerima pemberian
penguasa.”
Disamping
kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir,
hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli
fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam
hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran
fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i,
” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “.
Karena kepeduliannya yang sangat besar
terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di
dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum
islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang
undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang
telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya
berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Pada zaman
pemerintahan Abbasid, Khalifah al-Mansur telah beberapa kali meminta beliau
menjawat kedudukan Qadhi kerajaan. Imam Abu Hanifah berkeras menolak tawaran
itu. Jawaban Abu Hanifah membuat al-Mansur marah, kemudian dia memasukkan Imam
Abu Hanifah ke penjara. Akan tetapi tekanan dari orang ramai menyebabkan
al-Mansur terpaksa membenarkan Imam Abu Hanifah meneruskan pengajarannya
walaupun di dalam penjara. Ketika orang
ramai mengerumuni penjara untuk belajar
bersama Imam Abu Hanifah, al-Mansur merasa kedudukannya mula tergugat.
Al-Mansur merasakan Imam Abu Hanifah harus dibunuh sebelum terlambat.
Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab
150H/767M (ketika berusia 68 tahun), yakni ketika berada di dalam penjara
disebabkan termakan makanan yang diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan
bahawa beliau dipukul dalam penjara sehingga mati. Kematian tokoh ilmuan Islam
ini amat dirasai oleh dunia Islam. Salat jenazahnya dilangsungkan 6 kali,
setiapnya didirikan oleh hampir 50,000 orang jamaah. Abu Hanifah mempunyai
beberapa orang murid yang ketokohan mereka membolehkan ajarannya diteruskan
kepada masyarakat. Antara anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang g ialah Zufar
(158H/775M), Abu Yusuf (182H/798M) dan Muhammad bin Hasan
as-Syaibani(189H/805M).
Metode yang digunakan dalam
menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok :
1. Al Quran sebagai sumber dari segala
sumber hukum.
2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan
terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran.
3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah)
karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya
serta asbabul khurujnya hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin
tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4. Qiyas (Analogi) yang digunakan
apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah.
5. Istihsan yaitu keluar atau
menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya
dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash.
6. Ijma’ yaitu kesepakatan para
mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
7. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim
dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan
belum ada prakteknya pada masa sahabat.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu
Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.
2. IMAM MALIK
Imam malik bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712-796 M.
Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik
sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya
Abu Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke
dua Hijriah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di
Madinah, oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan
Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber
ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran
hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru pada ulama ulama
terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim
bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz
dan Imam Ja’far AsShadiq.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai
dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya,
bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba
ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang
terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin,
ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’
yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut
beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila
Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas
penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadis-hadis
dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah
dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al
Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di
masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun
setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab
tersebut, beliau juga mengarang buku Al Mudawwanah Al Kubra.
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi
juga mewariskan Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab
Maliki, Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan
hukum, sumber hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al
Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah,
Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang
oleh dalil tertentu.
Sejarah keluarganya juga ada hubungan dengan ilmu Islam,
dengan datuknya sendiri adalah seorang perawi dan penghafal hadis yang
terkemuka. Pamannya juga, Abu Suhail Nafi’ adalah seorang tokoh hadis kota
Madinah pada ketika itu dan dengan beliaulah Malik bin Anas mula mendalami ilmu-ilmu
agama, khususnya hadis. Abu Suhail Nafi’ ialah seorang tabi‘in yang sempat
menghafal hadis dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Ummu
Salamah, Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri r.a.
Selain Nafi’, Imam Malik bin Anas juga berguru dengan Jaafar as-Shadiq, cucu kepada
al-Hassan, cucu kepada Rasulullah s.a.w. Imam Malik juga duduk belajar di
Masjid Nabawi, Madinah dan berguru dengan Muhammad Yahya al-Ansari, Abu Hazim
Salmah ad-Dinar, Yahya bin Saad dan Hishambin ‘Urwah. Mereka ini semua ialah
anak murid kepada para sahabat Rasulullah s.a.w. Suasana kehidupan Imam Malik
bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi dengan para tabi‘in amatlah
menguntungkannya. Para tabi‘in ini adalah mereka yang sempat hidup bersama
sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka sempat belajar, mendengar hadis dan
mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus. Inilah antara penyebab kenapa
Imam Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali apabila pergi
menunaikan ibadat hajinya.
Imam Malik bin Anas kemudiannya mengambil alih peranan
sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi, Madinah. Ajarannya menarik sejumlah orang
ramai daripada pelbagai daerah dunia Islam. Beliau juga bertindak sebagai Mufti
Kota Madinah pada ketika itu. Imam Malik juga ialah antara tokoh yang terawal
dalam mengumpul dan membukukan hadis-hadis Rasulullah s.a.w di dalam kitabnya
al-Muwattha’. Kitabnya ini menjadi hafalan dan rujukan orang ramai sehinggakan
ia pernah dikatakan oleh Imam as-Syafi‘e sebagai: “Tidak wujud sebuah buku di
bumi yang paling hampir kepada al-Quran melainkan kitab Imam Malik ini.”
Antara tokoh besar yang duduk belajar bersama Imam Malik
ialah Imam Abu Hanifah dari Kufah, Iraq. Selain itu diriwayatkan juga bahawa
sebanyak 1,300 tokoh-tokoh lain yang duduk bersama menuntut ilmu bersama Imam
Malik di Masjid Nabawi. Antaranya termasuklah Muhammad bin Idris, yang
kemudiannya terkenal dengan gelaran Imam as-Syafi‘e. Ketinggian ilmu Imam Malik
bin Anas pernah diungkap oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai: “Imam Malik adalah
penghulu daripara penghulu ahli ilmu dan beliau pula seorang imam dalam bidang
hadith dan fiqh. Siapakah gerangan yang dapat menyerupai Imam Malik?”
Imam Malik pernah dihukum oleh gabenor Kota Madinah pada
tahun 147H/764M kerana telah mengeluarkan fatwa bahawa hukum talaq yang coba
dilaksanakan oleh kerajaan Abbasid tidak sah. Kerajaan Abbasid ketika itu telah
membuat fatwa sendiri bahawa semua penduduk perlu taat kepada pemimpin dan
barangsiapa yang enggan akan terjatuh talaq ke atas isterinya. Memandangkan
rakyat yang lebih taatkan ulama’ daripada pemimpin, pemerintah Abbasid telah
memaksa Imam Malik untuk mengesahkan fatwa mereka. Imam Malik enggan, malah
mengeluarkan fatwa menyatakan bahawa talaq sedemikian tidak sah (tidak jatuh
talaqnya). Imam Malik ditangkap dan dipukul oleh gabenor Madinah sehingga
tulang bahunya patah dan terkeluar daripada kedudukan asalnya. Kecederaan ini
amatlah berat sehinggakan beliau tidak lagi dapat bersolat dengan memegang
kedua tangannya di dada, lalu dibiarkan sahaja terkulai di tepi badannya.
Imam Malik kemudiannya dibebaskan dari penjara dan
beliau terus kembali mengajar di Madinah sehinggalah beliau meninggal dunia
pada 11 Rabiul-Awwal, tahun 179H/796M, ketika berusia 86 tahun. Di antara
anak-anak murid beliau yang masyhur ialah ‘Abdarrahman bin al-Qasim al-Tasyri
(191H/807M), Ibn Wahhab Abu Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Yahya bin Yahya
al-Masmudi (234H/849M).
3. IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu
Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150
Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga
jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf
(kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi
Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah
menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke
rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi
yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya
kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu
dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah
menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali
khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun
kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan
juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra
Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali
ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah
pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang
membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi
mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu
karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum
beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu
banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir
seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum
karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya
yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela
Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan
kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam,
karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada
hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya
terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam
mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan
istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah
terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan
prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau
selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu
saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya
bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk
bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana
ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang
lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.
Sejarah keluarganya juga ada hubungan dengan ilmu Islam,
dengan datuknya sendiri adalah seorang perawi dan penghafal hadis yang
terkemuka. Pamannya juga, Abu Suhail Nafi’ adalah seorang tokoh hadis kota
Madinah pada ketika itu dan dengan beliaulah Malik bin Anas mula mendalami ilmu-ilmu
agama, khususnya hadis. Abu Suhail Nafi’ ialah seorang tabi‘in yang sempat
menghafal hadis dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Ummu
Salamah, Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri r.a.
Selain Nafi’, Imam Malik bin Anas juga berguru dengan Jaafar as-Shadiq, cucu kepada
al-Hassan, cucu kepada Rasulullah s.a.w. Imam Malik juga duduk belajar di
Masjid Nabawi, Madinah dan berguru dengan Muhammad Yahya al-Ansari, Abu Hazim
Salmah ad-Dinar, Yahya bin Saad dan Hishambin ‘Urwah. Mereka ini semua ialah
anak murid kepada para sahabat Rasulullah s.a.w. Suasana kehidupan Imam Malik
bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi dengan para tabi‘in amatlah
menguntungkannya. Para tabi‘in ini adalah mereka yang sempat hidup bersama
sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka sempat belajar, mendengar hadis dan
mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus. Inilah antara penyebab kenapa
Imam Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali apabila pergi
menunaikan ibadat hajinya.
Imam Malik bin Anas kemudiannya mengambil alih peranan
sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi, Madinah. Ajarannya menarik sejumlah orang
ramai daripada pelbagai daerah dunia Islam. Beliau juga bertindak sebagai Mufti
Kota Madinah pada ketika itu. Imam Malik juga ialah antara tokoh yang terawal
dalam mengumpul dan membukukan hadis-hadis Rasulullah s.a.w di dalam kitabnya
al-Muwattha’. Kitabnya ini menjadi hafalan dan rujukan orang ramai sehinggakan
ia pernah dikatakan oleh Imam as-Syafi‘e sebagai: “Tidak wujud sebuah buku di
bumi yang paling hampir kepada al-Quran melainkan kitab Imam Malik ini.”
Antara tokoh besar yang duduk belajar bersama Imam Malik
ialah Imam Abu Hanifah dari Kufah, Iraq. Selain itu diriwayatkan juga bahawa
sebanyak 1,300 tokoh-tokoh lain yang duduk bersama menuntut ilmu bersama Imam
Malik di Masjid Nabawi. Antaranya termasuklah Muhammad bin Idris, yang
kemudiannya terkenal dengan gelaran Imam as-Syafi‘e. Ketinggian ilmu Imam Malik
bin Anas pernah diungkap oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai: “Imam Malik adalah
penghulu daripara penghulu ahli ilmu dan beliau pula seorang imam dalam bidang
hadith dan fiqh. Siapakah gerangan yang dapat menyerupai Imam Malik?”
Imam Malik pernah dihukum oleh gabenor Kota Madinah pada
tahun 147H/764M kerana telah mengeluarkan fatwa bahawa hukum talaq yang coba dilaksanakan
oleh kerajaan Abbasid tidak sah. Kerajaan Abbasid ketika itu telah membuat
fatwa sendiri bahawa semua penduduk perlu taat kepada pemimpin dan barangsiapa
yang enggan akan terjatuh talaq ke atas isterinya. Memandangkan rakyat yang
lebih taatkan ulama’ daripada pemimpin, pemerintah Abbasid telah memaksa Imam
Malik untuk mengesahkan fatwa mereka. Imam Malik enggan, malah mengeluarkan
fatwa menyatakan bahawa talaq sedemikian tidak sah (tidak jatuh talaqnya). Imam
Malik ditangkap dan dipukul oleh gabenor Madinah sehingga tulang bahunya patah
dan terkeluar daripada kedudukan asalnya. Kecederaan ini amatlah berat
sehinggakan beliau tidak lagi dapat bersolat dengan memegang kedua tangannya di
dada, lalu dibiarkan sahaja terkulai di tepi badannya.
Imam Malik kemudiannya dibebaskan dari penjara dan
beliau terus kembali mengajar di Madinah sehinggalah beliau meninggal dunia
pada 11 Rabiul-Awwal, tahun 179H/796M, ketika berusia 86 tahun. Di antara
anak-anak murid beliau yang masyhur ialah ‘Abdarrahman bin al-Qasim al-Tasyri
(191H/807M), Ibn Wahhab Abu Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Yahya bin Yahya
al-Masmudi (234H/849M).
Diantara karya karya Imam Syafi’i
yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga
buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis rasulullahyang dihimpun dalam kitab
Umm serta ikhtilaf Al hadis.
4. IMAM HAMBALI
Ahmad bin
Hanbal (781 - 855
M, 164 - 241 H) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia
lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin
Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga
sebagai Imam Hambali.
Ilmu yang pertama kali dikuasai
adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis
dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia
mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah
mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini ia pernah
pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga
ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah
dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad
sebagai berikut: "Setelah saya
keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih
terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal".
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau
pernah berkata, "Saya tidak
pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi
bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau
tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya
masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban
serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo
matang)”
Beliau menikah pada umur 40 tahun
dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia melahirkan dari istri-istrinya
anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih.
Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Putranya yang bernama Shalih
mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia
dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah
kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu
mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya
tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai
Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin
Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?”
beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum
nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya
tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal
satu juta hadits”.
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin
Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya
serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah
hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta
dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria
dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap
guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal
imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa,
Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam
wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang
terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Beliau memakai peci yang dijahit
sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja
dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar
dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah
berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan,
“Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk
beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang
memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau
menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga
tidak mau menerimanya.
melihat orang yang seperti Imam
Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak
pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada
kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah
hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al Marrudzi berkata,
“Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali
di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang
perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak
tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi
ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam
karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu
tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya
kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Tatkala beliau pulang dari tempat
Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam
keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad
mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari
Abdirrazzak”.
Zakariya bin Yahya pernah bertanya
kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa
menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak
cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?”
beliau menjawab. “Saya harap demikian”.
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi
mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah
agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan,
barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.
Pemahaman Jahmiyyah belum berani
terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan
Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang
mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi pada
masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan
kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun,
orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi
negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu
penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an
makhluk, terutama para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada
ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak
dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka
dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya
penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan
apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang
membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat
dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian
menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi
Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari
agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli
dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam
menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum
pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin
Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah
yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih
dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih
rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah
mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh
seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran
maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka
hatiku bertambah kuat”.
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah
mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad
bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya
kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada
hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul
dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata,
“Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i
serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin
Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul
Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia
mengetahui kadar orang lain!”
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada
banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di
berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri
lainnya. Di antara mereka adalah:
- Ismail bin Ja’far
- Abbad bin Abbad Al-Ataky
- Umari bin Abdillah bin Khalid
- Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
- Imam Syafi'i
- Waki’ bin Jarrah
- Ismail bin Ulayyah
- Sufyan bin ‘Uyainah
- Abdurrazaq
- Ibrahim bin Ma’qil
Umumnya ahli hadits pernah belajar
kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah
menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
- Imam Bukhari
- Muslim
- Abu Daud
- Nasai
- Tirmidzi
- Ibnu Majah
- Imam Asy-Syafi'i
- Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
- Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
- Keponakannya, Hambal bin Ishaq
Setelah sakit sembilan hari, beliau
Rahimahullah menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan
dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau
dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat
perempuan.
Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya
kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan beliau dan sebaik baik
penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan
sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah
ensiklopedia hadits atau Musnad,
disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu
hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.
Karya-Karya
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, yaitu:
- Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
- Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
- Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
- Kitab at-Tarikh
- Kitab Hadits Syu'bah
- Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
- Kitab Jawabah al-Qur`an
- Kitab al-Manasik al-Kabir
- Kitab al-Manasik as-Saghir
Menurut
Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal.
- Kitab al-'Ilal
- Kitab al-Manasik
- Kitab az-Zuhd
- Kitab al-Iman
- Kitab al-Masa'il
- Kitab al-Asyribah اﻞ
- Kitab al-Fadha'il
- Kitab Tha'ah ar-Rasul
- Kitab al-Fara'idh
- Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar